Senin, 31 Desember 2007

Mengangkat Citra Jamu ke Kelas Atas

http://www.sajadah.net/comments.php?id=233_0_1_0_C

Thu Jun 12, 2003
Mengangkat Citra Jamu ke Kelas Atas

Pengusaha jamu terus berinovasi dalam mengembangkan produknya. Sayang, pemerintah masih memandang sebelah mata

Orang pintar, minum Tolak Angin!” ujar Sophia Latjuba kepada Rhenald Kasali. Dialog singkat antara artis kelahiran Berlin, Jerman, 33 tahun silam, dan pakar manajemen pemasaran itu merupakan cuplikan adegan iklan yang menampilkan produk Tolak Angin dari Jamu Sido Muncul.

Iklan itu secara tidak langsung memberi gambaran betapa industri jamu saat ini sudah sejajar dan bisa bersaing dengan obat-obatan lainnya. Sebab, selama ini, jamu diposisikan sebagai sesuatu yang tidak higienis, tidak modern, dan tradisional yang hanya diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah. Semua itu diubah oleh perusahaan jamu yang menggunakan bahan alami negeri sendiri dengan membangun industri jamu lewat sentuhan modern.
Bukan itu saja. Sido Muncul, salah satu produsen jamu terbesar di Indonesia yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah, juga tampil sebagai benchmark atau standar di industri jamu. Menariknya lagi, bukan profit yang menjadi ukuran sukses, melainkan seberapa banyak produknya memberi manfaat. Terbukti, berbagai penghargaan telah diterima sebagai wujud sumbangsih Sido Muncul bagi masyarakat dan lingkungan.

Lihat saja Kehati Award dan The Best Brand Award yang diterima Sido Muncul pada tahun 2000. Lalu, dua tahun berselang, mereka juga mendapat predikat Perusahaan Teladan serta penghargaan ICSA (Indonesian Customer Satisfaction Award). Terakhir, berkat konsistensi serta strategi promosi yang sistematis, Sido Muncul memperoleh Cakram Award 2003. Bagi Sido Muncul, semua penghargaan yang direngkuh itu bukti bahwa visi yang mereka terapkan berhasil menjadi haluan perusahaan.

Aneh memang jika manajemen Sido Muncul menetapkan visi demikian. Tidak jarang, banyak yang mempertanyakan, mengapa tidak membuat visi semisal menjadi pabrik jamu yang terbesar saja?
Tapi bagi Irwan Hidayat, Presdir PT Sido Muncul, kalau bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Visi ini diterapkan pertama kali pada tahun 1994.

Jika Sido Muncul berkomitmen pada visi bermanfaat bagi semua, PT Nyonya Meneer lain lagi. Perusahaan yang juga berlokasi di Semarang ini selalu berusaha membuat yang terbaik, tidak setengah-setengah dalam pengembangan jamu. Maka, moto yang dipegang adalah “Menjual nilai yang tepat kepada konsumen.”

Bergantung pada Inovasi
Karena itu, untuk memenuhi permintaan pasar, Nyonya Meneer terus melakukan terobosan dan inovasi dalam memproduksi jamunya. Langkah ini terbilang pesat. Sebab, hingga awal 1990, tercatat lebih dari 150 macam produk jamu. Aneka ragam jenis obat tradisional ini dibagi menjadi 16 golongan, di antaranya Sehat Pria, Sehat Wanita, Galian Singset, dan Pelancar ASI.

Namun, menurut Charles Saerang, Presdir Nyonya Meneer, produk unggulannya tetap diarahkan untuk konsumsi wanita. Sebab, dibanding laki-laki, wanita masih mau membelanjakan uangnya untuk mempercantik dan menjaga kesehatan tubuhnya. Produk unggulan di segmen ini ada yang disebut PK atau pesanan khusus. Dari namanya saja, bisa diketahui seperti apa produk PK ini. “Hampir 90% pasar perempuan ini menyumbang omzet perusahaan,” ujar Charles.

Tentu saja segmen yang digarap adalah wanita kelas menengah ke atas. Ini sesuai dengan trade mark Nyonya Meneer sebagai jamunya “para priyayi”. Untuk mendekatkan diri dengan pelanggannya, dua program unggulan telah disiapkan Charles yang baru saja didaulat menjadi Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu. Pertama, acara “Sehat Alami” setiap Minggu pagi di Metro TV. Kedua, membuka kafe Nyonya Meneer di Senayan Trade Center, lantai 6.

Ke depan, perusahaan ini berencana go public karena proses globalisasi yang sudah di depan mata. Tak tanggung-tanggung, Charles akan menggandeng perusahaan multinasional. “Enggak masalah jika saham saya cuma 5% asalkan perusahaan menjadi besar dan maju,” ujarnya.
Keinginan untuk memajukan industri jamu yang selama ini terkena stigma “industri tradisional dengan manajemen keluarga” dan kerap dipandang sebelah mata, juga melanda Irwan Hidayat, bos Jamu Sido Muncul. Ia berkeyakinan bahwa untuk bisa menembus pasar dunia, industri jamu harus memperkuat basis performa perusahaan terhadap inovasi yang berlangsung terus-menerus.

Untuk itu, kata Benika Ifada, Manajer Humas PT Sido Muncul, perusahaannya mengalokasikan dana sampai Rp 3 miliar untuk bagian riset dan pengembangan. Kini, penelitian lebih difokuskan pada penciptaan produk jamu untuk mengobati penyakit degeneratif dan infeksi, antara lain asam urat, kolesterol, hipertensi, diabetes, dan kanker. Khusus untuk menjaga kesehatan, jamu unggulan Sido Muncul adalah Kuku Bima. Produk ini merupakan jamu kuat untuk para pria, terutama yang berusia 50 tahun ke atas.

Mahalnya biaya penelitian terjawab dengan terus meningkatnya volume produksi Jamu Sido Muncul yang setiap tahunnya sekitar 800 ton kering dengan nilai produksi Rp 180-200 miliar. Sedangkan volume ekspornya Rp 15 miliar per tahun. Tahun ini, perusahaan menargetkan penjualan senilai Rp 180-200 miliar.

Selain Nyonya Meneer dan Sido Muncul, perusahaan jamu yang cukup inovatif adalah PT Jamu Jago. Produk inovatifnya yang sangat populer adalah Jamu Buyung Upik yang ditujukan buat anak-anak. Karena itu, rasanya enak dan manis, tidak pahit seperti jamu pada umumnya.

Ide tersebut bukan muncul begitu saja, tapi berangkat dari pengalaman dan pengamatan Jaya Suprana, Bos PT Jamu Jago. “Saya dikatakan gila ketika mengemukakan ide Jamu Buyung Upik ini,” ujarnya kepada Nurdin Al Fahmi dari TRUST sambil tertawa. Kini, kegilaan pencetus Museum Rekor Indonesia (Muri) itu terbayarkan dengan meledaknya produk tersebut.

sumber:majalah trust

Related Entries:
produk-produk Islam
BLK Pesantren Membekali Santri Menembus Pasar Global
CD-SMEs, TELKOM, dan BRI Fasilitasi Penggalangan Industri UKM Melalui SME Center dan Layanan E-Business
Gelar Teladan untuk Sido Muncul
H. Ikrom Ke Amerika Bersama Tempe


Tidak ada komentar: